VISUM ET REPERTUM YANG TIDAK SAH SEBAGAI ALAT BUKTI

OPINI HUKUM

VISUM ET REPERTUM YANG TIDAK SAH SEBAGAI ALAT BUKTI

I. Latar Belakang

Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu alat bukti penting dalam pembuktian perkara pidana, khususnya tindak pidana yang berkaitan dengan kekerasan fisik atau seksual. Dokumen ini memuat keterangan medis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik, sebagai pendukung dalam proses pembuktian adanya tindak pidana.

Namun, dalam praktik peradilan, sering kali muncul permasalahan terkait keabsahan visum, seperti visum yang dibuat tanpa permintaan resmi penyidik, tidak ditandatangani oleh dokter yang melakukan pemeriksaan, atau berdasarkan informasi sekunder (bukan hasil pemeriksaan langsung). Hal ini menimbulkan pertanyaan: kapan visum dianggap tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan?

II. Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
    1. Pasal 184 ayat (1) KUHAP: Alat bukti yang sah menurut undang-undang meliputi:
      1. a. keterangan saksi,
      1. b. keterangan ahli,
      1. c. surat,
      1. d. petunjuk,
      1. e. keterangan terdakwa.
    1. Pasal 187 KUHAP (tentang surat sebagai alat bukti): Surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, ditandatangani, dan secara resmi dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
  2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009
    Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Visum et Repertum, menegaskan bahwa:
    1. Visum hanya dapat diterbitkan berdasarkan permintaan penyidik (Pasal 4 ayat (1)).
    1. Visum harus dibuat oleh dokter yang melakukan pemeriksaan langsung terhadap korban.
  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Terdapat sejumlah putusan yang menolak visum sebagai alat bukti jika tidak sesuai prosedur hukum, misalnya karena dibuat tanpa permintaan penyidik atau dibuat berdasarkan pemeriksaan terhadap data sekunder.

III. Analisis Yuridis

1. Syarat Formil Keabsahan Visum

Visum et Repertum sebagai alat bukti surat dan/atau keterangan ahli harus memenuhi ketentuan formal:

  • Diterbitkan atas permintaan penyidik (bukan permintaan korban atau pihak lain).
  • Dilakukan oleh dokter yang memeriksa korban secara langsung.
  • Ditandatangani oleh dokter yang membuat visum.
  • Menyatakan bahwa pemeriksaan dilakukan sesuai prosedur kedokteran forensik.

Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, visum dapat dianggap cacat formil, dan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

2. Akibat Hukum Visum yang Tidak Sah

Visum yang tidak sah dapat berakibat:

  • Tidak diakui sebagai alat bukti sah dalam persidangan.
  • Tidak dapat memperkuat pembuktian unsur pidana, terutama dalam perkara kekerasan, penganiayaan, atau kejahatan seksual.
  • Membuka peluang bagi terdakwa untuk bebas atau putusan menjadi lemah karena kekurangan pembuktian.

3. Contoh Visum yang Tidak Sah

Beberapa contoh kasus visum yang tidak sah:

  • Visum diterbitkan berdasarkan cerita korban, tanpa ada pemeriksaan fisik langsung.
  • Visum dibuat oleh dokter jaga, tanpa permintaan resmi penyidik.
  • Visum tidak memuat tanda tangan dokter atau dibuat oleh tenaga non-medis.

4. Yurisprudensi Relevan

  • Putusan MA RI No. 1214 K/Pid/2008: Hakim menyatakan visum tidak sah karena tidak dibuat berdasarkan permintaan penyidik dan bukan hasil pemeriksaan langsung.
  • Putusan MA RI No. 2748 K/Pid.Sus/2013: Visum yang dibuat berdasarkan permintaan korban pribadi dinyatakan tidak memiliki kekuatan pembuktian.

IV. Kesimpulan

  1. Visum et Repertum merupakan alat bukti sah hanya jika memenuhi syarat formal dan materil sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan pelaksananya.
  2. Visum yang dibuat tanpa permintaan penyidik, bukan hasil pemeriksaan langsung, atau tidak ditandatangani oleh dokter, tidak sah sebagai alat bukti.
  3. Dalam praktik, keberadaan visum yang tidak sah dapat menggugurkan pembuktian suatu tindak pidana, sehingga perlu diwaspadai oleh aparat penegak hukum.
  4. Hakim berwenang menilai keabsahan alat bukti dan dapat menolak visum yang tidak memenuhi syarat hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *