PELEPASAN KAWASAN HUTAN SEBAGAI DASAR KEPEMILIKAN LAHAN

OPINI HUKUM

PELEPASAN KAWASAN HUTAN SEBAGAI DASAR KEPEMILIKAN LAHAN

I. Latar Belakang

Isu pertanahan dan kehutanan di Indonesia sering kali saling bersinggungan, terutama terkait dengan klaim kepemilikan lahan yang berada dalam atau di sekitar kawasan hutan. Banyak masyarakat yang telah lama menguasai atau mengusahakan tanah, tetapi kemudian diketahui bahwa lahan tersebut termasuk dalam kawasan hutan menurut penetapan pemerintah.

Dalam konteks hukum kehutanan, kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Oleh karena itu, setiap bentuk penguasaan atau pemilikan atas tanah di kawasan hutan tanpa izin pemerintah merupakan perbuatan yang tidak sah secara hukum.

Namun demikian, pemerintah dapat melakukan pelepasan kawasan hutan, yaitu suatu tindakan administratif untuk mengeluarkan sebagian kawasan hutan dari statusnya agar dapat digunakan untuk kegiatan non-kehutanan, termasuk pemberian hak atas tanah kepada pihak lain. Dengan demikian, pelepasan kawasan hutan menjadi dasar hukum bagi timbulnya hak kepemilikan atas lahan di wilayah yang sebelumnya termasuk dalam kawasan hutan.

II. Dasar Hukum

Beberapa ketentuan hukum yang relevan antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

   Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

   Menegaskan bahwa hak-hak atas tanah hanya dapat diberikan atas tanah yang berada di luar kawasan hutan.

   Pasal 2 ayat (4): pelaksanaan hak menguasai negara dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat.

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (jo. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan)

Pasal 1 angka 3: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Pasal 19 dan 20: Pemerintah berwenang menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Pelepasan kawasan hutan dilakukan terhadap kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

   Pasal 94–102: mengatur prosedur pelepasan kawasan hutan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

   Setelah pelepasan, tanah dapat dimohonkan hak atas tanah sesuai ketentuan agraria.

5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2021

   Menjabarkan tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

6. Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penetapan Hak Atas Tanah pada Bekas Kawasan Hutan

   Mengatur proses penetapan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas lahan hasil pelepasan kawasan hutan.

III. Analisis Hukum

1. Status Tanah dalam Kawasan Hutan

Menurut UU Kehutanan, tanah dalam kawasan hutan tidak dapat dimiliki oleh perorangan atau badan hukum karena dikuasai langsung oleh negara. Setiap penguasaan tanpa izin merupakan pelanggaran hukum dan dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana (Pasal 50 UU Kehutanan).

Oleh karena itu, sebelum suatu tanah dapat diberikan hak milik atau hak lainnya, tanah tersebut harus terlebih dahulu dilepaskan dari statusnya sebagai kawasan hutan.

2. Mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan

Pelepasan kawasan hutan dilakukan melalui beberapa tahapan:

1. Permohonan kepada Menteri LHK oleh instansi, badan hukum, atau pihak yang berkepentingan.

2. Verifikasi dan Penelitian Teknis oleh kementerian terkait.

3. Penetapan Keputusan Menteri tentang Pelepasan Kawasan Hutan.

4. Penyerahan tanah hasil pelepasan kepada Kementerian ATR/BPN untuk dilakukan pengukuran, pemetaan, dan penerbitan hak atas tanah.

Dengan demikian, keputusan pelepasan kawasan hutan menjadi titik awal konversi status tanah dari “tanah negara dalam kawasan hutan” menjadi “tanah negara di luar kawasan hutan”, yang dapat diberikan hak milik, HGB, HGU, atau hak pakai sesuai peruntukannya.

3. Kepemilikan Lahan Pasca Pelepasan

Setelah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan, tanah tersebut masuk dalam kewenangan agraria di bawah ATR/BPN. Pemohon kemudian dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan dalam UUPA dan peraturan turunannya.

Hak kepemilikan baru dianggap sah secara hukum apabila:

Ada SK Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri LHK;

Ada penetapan hak atas tanah dari Menteri ATR/BPN;

Telah dilakukan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat.

Tanpa tahapan tersebut, klaim kepemilikan atas tanah bekas kawasan hutan tidak memiliki kekuatan hukum dan berpotensi digugat atau dibatalkan.

4. Aspek Perlindungan Hukum

Pelepasan kawasan hutan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat atau badan hukum yang telah menguasai lahan secara fisik sebelum penetapan kawasan hutan, selama mereka memenuhi syarat administrasi dan tidak melanggar hukum.

Di sisi lain, mekanisme ini juga menjadi instrumen rekonsiliasi hukum antara kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan, agar konversi lahan dilakukan secara legal dan terukur.

IV. Akibat Hukum Tanpa Pelepasan Kawasan Hutan

Jika seseorang memperoleh, membeli, atau menguasai tanah yang masih berstatus kawasan hutan tanpa melalui proses pelepasan resmi, maka:

1. Perbuatan tersebut tidak sah secara hukum, karena bertentangan dengan UU Kehutanan dan UUPA.

2. Tanah tidak dapat diterbitkan sertifikat hak milik atau hak lain.

3. Pihak yang menguasai lahan dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan dikenai sanksi administratif atau pidana.

4. Jika ada transaksi jual beli, maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena objeknya tidak dapat diperjualbelikan.

V. Kesimpulan dan Opini Hukum

1. Pelepasan kawasan hutan merupakan satu-satunya dasar hukum yang sah untuk mengubah status tanah dari kawasan hutan menjadi tanah negara yang dapat diberikan hak atas tanah.

2. Kepemilikan lahan hanya dapat timbul setelah adanya keputusan pelepasan kawasan hutan dan penetapan hak oleh Kementerian ATR/BPN.

3. Tanpa melalui mekanisme tersebut, setiap klaim kepemilikan atau transaksi jual beli atas tanah di dalam kawasan hutan tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat didaftarkan.

4. Dalam perspektif hukum agraria dan kehutanan, pelepasan kawasan hutan menjadi jembatan legal antara kepentingan perlindungan lingkungan dan kepastian hukum hak atas tanah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *