OPINI HUKUM
Membedakan Suap dan Pemerasan Pejabat dalam Tindak Pidana Korupsi
I. LATAR BELAKANG
Korupsi dalam bentuk suap (bribery) dan pemerasan oleh pejabat (extortion) merupakan dua modus yang sering terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya sama-sama menimbulkan kerusakan tata kelola negara, merusak kepercayaan publik, serta mengganggu kepastian hukum dan pelayanan publik.
Namun, dalam praktik penegakan hukum, sering timbul perdebatan untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk suap atau pemerasan. Hal ini penting karena perbedaan unsur kesengajaan, posisi tawar, serta relasi kuasa akan mempengaruhi kwalifikasi tindak pidana, ancaman hukuman, serta pembuktian.
Opini hukum ini memberikan analisis sistematis untuk membedakan kedua bentuk tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan kerangka hukum positif Indonesia.
II. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya:
• Pasal 5: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara negara (suap aktif).
• Pasal 6: memberi sesuatu kepada hakim/penegak hukum (suap khusus).
• Pasal 11 dan 12 huruf a–b: menerima hadiah atau janji karena jabatan (suap pasif).
• Pasal 12 huruf e: pemerasan oleh pegawai negeri (“menggunakan kekuasaan atau kewenangan secara melawan hukum untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu…”).
• Pasal 12B: gratifikasi.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – terkait delik pemerasan (Pasal 368).
3. Putusan MA & yurisprudensi, antara lain:
• Putusan MA No. 812K/Pid.Sus/2014 (pemisahan suap dan pemerasan).
• Putusan MA No. 480K/Pid.Sus/2013 (unsur “karena jabatan”).
4. Doktrin Hukum Pidana Korupsi (Andi Hamzah, Romli Atmasasmita, Ermansyah Djaja).
III. PEMBAHASAN & ANALISIS
A. Pengertian Suap
Dalam hukum korupsi, suap adalah pemberian sesuatu kepada pejabat untuk:
1. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban, atau
2. Tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan,
3. Dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan pejabat.
Suap mempunyai dua bentuk:
• Suap aktif (yang memberi) – Pasal 5.
• Suap pasif (yang menerima) – Pasal 11 & 12 a–b.
Elemen kunci suap:
• Ada kesepakatan (meeting of mind) antara penyuap dan pejabat.
• Pejabat bersedia menerima pemberian.
• Pemberian dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
B. Pengertian Pemerasan oleh Pejabat (Extortion)
Pemerasan pejabat diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor, yaitu:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menggunakan kekuasaan atau kewenangan secara melawan hukum untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu…”
Elemen kunci pemerasan oleh pejabat:
• Pejabat menekan, memaksa, atau mengancam.
• Ada relasi kuasa tidak seimbang (abuse of power).
• Korban tidak memiliki pilihan selain memenuhi permintaan pejabat.
• Pemberian tidak didasarkan kesepakatan, melainkan paksaan.
C. Perbedaan Mendasar Suap dan Pemerasan
Aspek
Suap
Pemerasan Pejabat
Inisiatif
Biasanya dari pemberi, bisa juga pejabat
Selalu dari pejabat
Relasi Kuasa
Relatif seimbang
Tidak seimbang, pejabat dominan
Sifat Pemberian
Sukarela (walau untuk tujuan ilegal)
Paksaan atau ancaman
Tujuan
Mendapatkan keuntungan tertentu
Mengambil keuntungan melalui tekanan
Persetujuan
Ada kesepakatan
Tidak ada, hanya kepatuhan karena takut
Pasal
5, 6, 11, 12 a–b
Pasal 12 huruf e
Sanksi
1–5 tahun (suap aktif) / 4–20 tahun (suap pasif)
4–20 tahun (lebih berat)
D. Unsur “Paksaan” dalam Pemerasan Pejabat
Paksaan tidak harus berupa ancaman fisik, tetapi bisa berupa:
• Ancaman tidak mengurus pelayanan publik,
• Ancaman mencabut izin,
• Ancaman mempersulit proses administrasi,
• Ancaman pemeriksaan berlebihan,
• Ancaman hukuman atau kewenangan lain yang disalahgunakan.
Menurut yurisprudensi MA, ketika pejabat meminta uang agar layanan diproses, maka hal tersebut termasuk pemerasan dan bukan suap, karena pemberi berada dalam posisi tidak berdaya.
E. Ketika Perkara Sulit Dibedakan
Dalam praktik, sering terjadi:
1. Pejabat meminta uang (pemerasan) tetapi pihak pemberi juga berharap layanan dipercepat (suap).
2. Pihak pemberi menawarkan uang agar permintaan pejabat tidak memperlambat urusan.
Dalam kondisi “abu-abu” ini, penegak hukum harus menilai:
• Siapa yang memulai komunikasi?
• Adakah ancaman atau tekanan?
• Apakah pemberi bisa menolak tanpa risiko signifikan?
• Apakah tindakan pejabat melanggar prosedur layanan?
Jika tekanan dominan → pemerasan (Pasal 12 e).
Jika ada kesepakatan untuk tujuan ilegal → suap (Pasal 5/11/12 a–b).
IV. KAITAN DENGAN GRATIFIKASI
Gratifikasi yang tidak dilaporkan (Pasal 12B) sering disalahartikan sebagai suap.
Bedanya:
• Suap: pemberian terkait perbuatan tertentu yang diminta.
• Gratifikasi: pemberian tanpa permintaan eksplisit, tetapi karena jabatan.
Namun, bila pemberian dilakukan karena pejabat meminta, gratifikasi berubah menjadi pemerasan atau suap tergantung forma paksaan atau kesepakatan.
V. KESIMPULAN
1. Suap terjadi ketika ada kesepakatan timbal balik antara pemberi dan pejabat, bertujuan mempengaruhi tindakan pejabat.
2. Pemerasan pejabat terjadi ketika pejabat menggunakan kekuasaan atau kewenangannya untuk memaksa, mengancam, atau membuat pihak lain tidak punya pilihan selain memberikan sesuatu.
3. Perbedaan ini penting karena mempengaruhi komponen pembuktian, pasal yang diterapkan, dan ancaman pidana.
4. Secara umum, pemerasan pejabat lebih berat sanksinya karena dianggap penyalahgunaan kekuasaan publik yang serius.
5. Penegak hukum harus menilai inisiatif, relasi kuasa, dan adanya paksaan untuk menentukan apakah suatu kasus termasuk suap atau pemerasan.

