Hakim Memutus Berdasarkan Dakwaan Atau Tuntutan Jaksa Untuk Memperoleh Keyakinan

OPINI HUKUM
Hakim Memutus Berdasarkan Dakwaan Atau Tuntutan Jaksa Untuk Memperoleh Keyakinan

I. LATAR BELAKANG
Dalam proses peradilan pidana di Indonesia, hakim dihadapkan pada dua instrumen penting yang disampaikan oleh Penuntut Umum, yaitu surat dakwaan dan tuntutan pidana. Dakwaan menjadi dasar bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili, sedangkan tuntutan merupakan penilaian yuridis akhir Penuntut Umum terhadap pembuktian fakta persidangan.
Permasalahan yang muncul ialah: apakah hakim dalam menjatuhkan putusan lebih terikat pada dakwaan, tuntutan, ataukah berpedoman pada keyakinan yang diperoleh dari pembuktian? Di lain sisi, sistem pembuktian di Indonesia menganut negatief wettelijk stelsel, yaitu kombinasi antara alat bukti yang sah dan keyakinan hakim dalam memutus perkara. Sehingga penting untuk memahami batas kewenangan hakim dalam menghubungkan dakwaan, tuntutan, dan keyakinan tersebut.

II. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, terutama:
• Pasal 183: syarat menjatuhkan pidana (“sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah pelakunya”).
• Pasal 182 ayat (4): tuntutan pidana dibacakan Jaksa.
• Pasal 191: putusan bebas dan lepas.
2. KUHP mengenai pemidanaan.
3. Putusan Mahkamah Agung, antara lain:
• Putusan MA No. 1174 K/Pid/1994: hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa.
• Putusan MA No. 42 K/Pid/1973: putusan harus berada dalam batas dakwaan.
4. Asas-asas hukum pidana:
• Judex facti: hakim bebas menilai pembuktian.
• Ultra petita partium dalam pidana: hakim tidak boleh menjatuhkan putusan lebih dari yang didakwakan.

III. PEMBAHASAN

  1. Kedudukan Dakwaan sebagai Batas Kewenangan Hakim
    Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana. Tanpa dakwaan yang sah, persidangan tidak dapat dilanjutkan. Doktrin menyebut dakwaan sebagai “titik sentral pemeriksaan”.
    Hakim wajib memutus dalam lingkup dakwaan karena:
    • Dakwaan menentukan ruang lingkup pembuktian.
    • Dakwaan menjadi dasar bagi terdakwa membela diri.
    • Melanggar dakwaan sama dengan melanggar asas due process of law.
    Kesimpulan bagian ini: hakim terikat pada dakwaan, tidak boleh memutus perbuatan yang tidak didakwakan.
  2. Kedudukan Tuntutan Jaksa dalam Pertimbangan Hakim
    Tuntutan pidana (requisitoir) merupakan pendapat subjektif yuridis Penuntut Umum setelah menilai pembuktian. Namun, tuntutan tidak mengikat hakim.
    Mahkamah Agung secara konsisten menyatakan bahwa tuntutan hanya berfungsi sebagai bahan pertimbangan, bukan dasar putusan.
    Hakim bahkan dapat:
    • Menjatuhkan pidana lebih ringan atau lebih berat dari tuntutan (selama tidak melampaui dakwaan).
    • Memutus bebas meskipun Jaksa menuntut pidana.
    • Menggunakan konstruksi hukum yang berbeda dari tuntutan.
    Kesimpulan bagian ini: hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa.
  3. Putusan Hakim Berdasarkan Keyakinan (Negatief Wettelijk Stelsel) Pasal 183 KUHAP menegaskan dua unsur kumulatif:
    1. Ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan
    2. Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.
      Dengan demikian, hakim tidak dapat memutus hanya berdasarkan dakwaan atau tuntutan. Hakim harus membangun keyakinannya dari:
      • Fakta hukum dalam persidangan,
      • Alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP),
      • Keterkaitan logis antar bukti (penilaian bebas), dan
      • Analisis hukum sesuai dakwaan.
      Keyakinan hakim harus rasional, objektif, dan dapat diuji melalui pertimbangan putusan (ratio decidendi).

V. KESIMPULAN
1. Hakim wajib memutus dalam batas dakwaan, karena dakwaan adalah dasar sahnya pemeriksaan dan ruang lingkup pembuktian.
2. Hakim tidak terikat pada tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum; tuntutan hanyalah pertimbangan yang dapat diterima atau diabaikan.
3. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dibentuk dari pembuktian yang sah menurut KUHAP, sesuai sistem negatief wettelijk stelsel.
4. Dengan demikian, dalam memperoleh keyakinan, hakim tidak boleh hanya mendasarkan pada dakwaan atau tuntutan, tetapi harus mengkonstruksi keseluruhan fakta persidangan secara objektif dan logis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *