ASPEK HUKUM JUAL BELI TANAH OLEH PIHAK YANG TIDAK BERHAK

OPINI HUKUM

ASPEK HUKUM JUAL BELI TANAH OLEH PIHAK YANG TIDAK BERHAK

I. Latar Belakang

Tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal, tanah juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, penguasaan dan peralihan hak atas tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan.

Dalam praktiknya, sering terjadi perbuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan oleh pihak-pihak yang **tidak berhak secara hukum** atas tanah tersebut. Misalnya, penjualan dilakukan oleh seseorang yang bukan pemegang hak yang sah, ahli waris yang belum memperoleh penetapan hak, atau pihak yang hanya menguasai secara fisik tanpa dasar hukum yang kuat. Perbuatan semacam ini menimbulkan berbagai permasalahan hukum, baik terhadap keabsahan perjanjian jual beli maupun terhadap perlindungan bagi pihak yang beritikad baik.

Oleh karena itu, penting untuk menelaah aspek hukum yang mengatur tentang jual beli tanah oleh pihak yang tidak berhak, termasuk akibat hukumnya dan perlindungan bagi pihak yang dirugikan.

II. Dasar Hukum

Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam pembahasan ini antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945**, Pasal 33 ayat (3):

   “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Pasal 16: jenis-jenis hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dll).

Pasal 26 ayat (1): “Jual beli, penukaran, hibah, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud untuk memindahkan hak milik dan hak-hak lainnya atas tanah, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.”

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 37 yang mengatur bahwa peralihan hak atas tanah hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya:

   Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian.

   Pasal 1457 tentang definisi jual beli.

   Pasal 1338 tentang asas kebebasan berkontrak.

5. Yurisprudensi Mahkamah Agung, yang pada prinsipnya menegaskan bahwa jual beli tanah oleh pihak yang tidak berhak adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian.

III. Analisis Hukum

1. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Tanah

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian sah apabila memenuhi empat syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila jual beli tanah dilakukan oleh pihak yang tidak berhak (misalnya bukan pemegang sertifikat hak milik atau tidak memiliki kewenangan hukum), maka syarat “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal” tidak terpenuhi. Akibatnya, perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void).

2. Kedudukan Pembeli yang Beritikad Baik

Pembeli yang telah melakukan jual beli tanah dengan itikad baik yakni percaya bahwa penjual adalah pemilik yang sah pada dasarnya dilindungi oleh hukum, sejauh pembeli telah melakukan kehati-hatian (due diligence) yang wajar. Namun, perlindungan ini bersifat terbatas, karena menurut asas nemo plus juris, seseorang tidak dapat mengalihkan hak yang lebih besar daripada yang dimilikinya.

Dengan demikian, sekalipun pembeli beritikad baik, jika penjual bukan pemegang hak yang sah, maka perbuatan jual beli tersebut tetap tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak atas tanah. Pembeli hanya dapat menuntut ganti rugi kepada penjual atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum

3. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

PPAT berperan penting dalam menjamin keabsahan jual beli tanah. Berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, PPAT wajib memastikan bahwa penjual adalah benar pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Jika PPAT lalai memeriksa keabsahan dokumen, maka akta yang dibuatnya dapat dibatalkan dan PPAT dapat dikenakan sanksi administratif atau bahkan pidana.

4. Akibat Hukum Jual Beli Tanah oleh Pihak yang Tidak Berhak

Akibat hukum dari jual beli tanah oleh pihak yang tidak berhak adalah:

Perjanjian batal demi hukum (tidak menimbulkan akibat hukum sejak awal).

Tanah tetap menjadi milik pemegang hak yang sah.

Pembeli berhak menuntut pengembalian uang atau ganti rugi dari penjual.

Apabila ada unsur penipuan, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

IV. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh

1. Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri untuk pembatalan akta jual beli dan pengembalian hak atas tanah.

2. Pelaporan Pidana apabila terdapat unsur pemalsuan dokumen atau penipuan.

3. Permohonan Pembatalan Pendaftaran Tanah ke Kantor Pertanahan apabila sertifikat sudah terbit atas dasar perbuatan hukum yang tidak sah.

V. Kesimpulan dan Opini Hukum

Jual beli tanah oleh pihak yang tidak berhak merupakan perbuatan hukum yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perbuatan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak atas tanah dan dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan.

Dalam pandangan hukum, perlindungan terhadap pihak yang beritikad baik tetap penting, namun tidak dapat mengesampingkan prinsip kepemilikan yang sah. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam verifikasi dokumen kepemilikan dan pelibatan PPAT yang kompeten menjadi kunci untuk mencegah terjadinya sengketa pertanahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *