OPINI HUKUM
ASPEK HUKUM ALIH FUNGSI LAHAN PERKEBUNAN MENJADI PERTAMBANGAN
I. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris sekaligus negara yang kaya akan sumber daya alam, baik di sektor perkebunan maupun pertambangan. Namun, dinamika pembangunan ekonomi sering kali menimbulkan konflik kepentingan antara dua sektor tersebut, terutama ketika terjadi alih fungsi lahan perkebunan menjadi kawasan pertambangan.
Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan perubahan peruntukan dan/atau penggunaan lahan dari fungsi awalnya ke fungsi lain. Dalam konteks ini, peralihan dari lahan perkebunan menjadi lahan pertambangan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menimbulkan implikasi hukum, sosial, dan lingkungan yang luas.
Permasalahan yang sering muncul adalah ketidaksesuaian perizinan, tumpang tindih lahan, pelanggaran terhadap tata ruang wilayah, serta kerugian bagi masyarakat sekitar yang bergantung pada sektor perkebunan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji aspek hukum yang mengatur dan membatasi alih fungsi lahan tersebut agar tetap sesuai dengan prinsip sustainability dan good governance.
II. Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dalam konteks alih fungsi lahan perkebunan menjadi pertambangan antara lain:
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
•Pasal 33 ayat (3):
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
2.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
•Pasal 42 ayat (1): Lahan usaha perkebunan tidak boleh dialihfungsikan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
•Pasal 108: Setiap orang yang mengalihfungsikan lahan perkebunan tanpa izin dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana.
3.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
•Mengatur bahwa kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sesuai dengan peruntukan ruang dan izin penggunaan lahan.
4.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
•Pasal 36: Pemanfaatan ruang harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
•Pasal 69: Pelanggaran terhadap RTRW dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
5.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
•Mengatur kewajiban memperoleh Izin Lingkungan atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pelaksanaan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan.
6.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021
•Tentang Tata Cara Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbasis Online Single Submission (OSS).
III. Analisis Hukum
1. Kewenangan dan Legalitas Alih Fungsi
Alih fungsi lahan perkebunan menjadi pertambangan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin perubahan peruntukan lahan dari pejabat berwenang, yaitu Kementerian Pertanian (untuk pelepasan lahan perkebunan) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (untuk izin pertambangan).
Tanpa izin tersebut, maka kegiatan pertambangan yang dilakukan di atas lahan perkebunan termasuk perbuatan melawan hukum.
2. Kesesuaian dengan Tata Ruang (RTRW)
Sebelum dilakukan alih fungsi, harus dipastikan bahwa wilayah tersebut masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten.
Apabila kegiatan pertambangan dilakukan di kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perkebunan atau pertanian berkelanjutan, maka hal itu melanggar UU Penataan Ruang dan dapat dikenai sanksi administratif dan pidana.
3. Aspek Lingkungan
Setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Pengalihan fungsi tanpa kajian lingkungan dapat menimbulkan kerusakan ekosistem, pencemaran air, dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat.
Ketiadaan izin lingkungan dapat menjadi dasar untuk pencabutan izin usaha dan bahkan penegakan hukum pidana lingkungan.
4. Aspek Pidana dan Tanggung Jawab Hukum
Alih fungsi lahan tanpa izin dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana apabila menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan, atau dilakukan dengan itikad tidak baik.
Beberapa pasal yang dapat diterapkan antara lain:
•Pasal 109 UU Perkebunan: pidana penjara bagi pelaku alih fungsi tanpa izin.
•Pasal 158 UU Minerba: pidana bagi pelaku usaha pertambangan tanpa izin.
•Pasal 98–100 UU Lingkungan Hidup: pidana bagi pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan.
IV. Dampak dan Implikasi
Alih fungsi lahan perkebunan menjadi pertambangan memiliki konsekuensi luas, antara lain:
1.Dampak hukum: potensi pelanggaran izin dan pidana lingkungan.
2.Dampak sosial-ekonomi: hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar, konflik sosial, dan ketimpangan ekonomi.
3.Dampak lingkungan: deforestasi, pencemaran air, erosi, dan hilangnya kesuburan tanah.
Oleh karena itu, setiap proses alih fungsi harus melalui mekanisme perencanaan, izin, dan pengawasan yang ketat agar tidak menimbulkan pelanggaran hukum dan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.
V. Kesimpulan
1.Alih fungsi lahan perkebunan menjadi pertambangan hanya dapat dilakukan jika memenuhi seluruh ketentuan perizinan dan kesesuaian tata ruang.
2.Tanpa izin resmi dan kajian lingkungan, kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang berpotensi pidana administratif, pidana lingkungan, maupun pidana umum.
3.Pemerintah daerah dan pusat wajib memperkuat pengawasan serta memastikan bahwa setiap izin yang diberikan telah mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability) dan kepentingan masyarakat.

