OPINI HUKUM
PIDANA KORUPSI PENGADAAN PUPUK SUBSIDI
I. LATAR BELAKANG
Pupuk subsidi merupakan instrumen strategis pemerintah untuk menjaga produktivitas pertanian, stabilitas pangan nasional, dan kesejahteraan petani. Karena sifatnya yang sangat penting dan dibiayai dari APBN/APBD, maka pengadaan, penyaluran, dan pendistribusian pupuk subsidi diatur secara ketat melalui berbagai kebijakan.
Namun dalam praktik, terjadi berbagai penyimpangan seperti:
• markup harga,
• permainan kuota,
• pengadaan fiktif,
• penyelewengan alokasi,
• distribusi tidak sesuai Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK),
• kerja sama antara oknum pejabat, distributor, hingga kelompok tani.
Perbuatan tersebut tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak sosial yang luas karena mengganggu ketahanan pangan dan ekonomi petani. Oleh karena itu, korupsi dalam pengadaan pupuk subsidi merupakan tindak pidana korupsi yang memiliki karakter extra ordinary crime sehingga penegakan hukumnya harus dilakukan secara tegas.
II. DASAR HUKUM
1. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama:
• Pasal 2: memperkaya diri sendiri/orang lain secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
• Pasal 3: penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
• Pasal 12 huruf e, f, g: suap dalam pengadaan barang dan jasa.
2. UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (mengatur distribusi pupuk).
3. Peraturan Menteri Pertanian (Permen) terkait pengadaan & penyaluran pupuk bersubsidi.
4. Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
• Perpres No. 16 Tahun 2018 dan perubahannya.
5. Peraturan OJK/Pengelolaan Keuangan Daerah, jika dana berasal dari APBD/APBN.
6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
• Pasal 55, 56 tentang penyertaan.
III. BENTUK-BENTUK KORUPSI DALAM PENGADAAN PUPUK SUBSIDI
1. Mark up harga atau jumlah
• Menaikkan jumlah atau nilai pengadaan agar memperoleh keuntungan.
• Unsur delik: memperkaya diri, melawan hukum, merugikan keuangan negara.
2. Pengadaan fiktif
• Tidak ada barang, tetapi anggaran dicairkan.
• Delik: Pasal 2/3 UU Tipikor.
3. Suap dalam menentukan pemenang tender
• Swakelola atau pihak ketiga melakukan kolusi dengan pejabat pemerintah.
• Delik Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
4. Penyalahgunaan jabatan
• Mengubah alokasi pupuk untuk kepentingan politik/kelompok tertentu.
• Termasuk penyalahgunaan kewenangan (Pasal 3 UU Tipikor).
5. Distribusi tidak sesuai RDKK
• Menyalurkan kepada pihak yang tidak berhak atau mempermainkan harga.
• Termasuk penyimpangan jenis, jumlah, dan alokasi pupuk.
6. Kolusi antara aparat pemerintah – distributor – kelompok tani
• Praktik fee 10–30% dari kuota pupuk subsidi.
IV. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI YANG RELEVAN
A. Pasal 2 UU Tipikor
Unsur:
1. Setiap orang
2. Melawan hukum
3. Memperkaya diri atau orang lain
4. Merugikan keuangan negara
Relevan untuk:
• mark up,
• pengadaan fiktif,
• distribusi tidak sesuai kuota.
B. Pasal 3 UU Tipikor
Unsur:
1. Setiap orang
2. Menggunakan kewenangannya
3. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain
4. Merugikan keuangan negara
Relevan untuk:
• penyalahgunaan jabatan oleh pejabat dinas pertanian, pokja ULP, camat, distributor resmi.
C. Pasal 12 huruf e–g
Relevan untuk korupsi pengadaan pupuk:
• Penerimaan suap, hadiah, atau janji untuk memenangkan penyedia tertentu.
• Delik ini memiliki ancaman pidana paling berat (4–20 tahun).
V. ANALISIS PENEGAKAN HUKUM
- Pembuktian Kerugian Negara
Dilakukan oleh:
• BPK,
• BPKP,
• atau Akuntan Publik yang ditunjuk penyidik.
Kerugian dihitung dari:
• selisih harga pasar vs harga kontrak,
• barang yang tidak disalurkan,
• kelebihan pembayaran,
• manipulasi volume. - Pembuktian Niat Jahat (Mens Rea)
Dapat terlihat dari:
• pertemuan-pertemuan antara penyedia–pejabat,
• aliran dana (tracing)
• percakapan/chat/tanda terima uang,
• rekayasa administrasi kontrak. - Pertanggungjawaban Pidana
Pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban:
• pejabat pembuat komitmen (PPK),
• pokja pengadaan,
• kuasa pengguna anggaran (KPA),
• distributor resmi pupuk,
• penyedia (rekanan),
• kelompok tani/oknum gapoktan yang terlibat.
Semua dapat dijerat Pasal 55–56 KUHP (turut serta/pembantuan).
VI. KASUS-KASUS YANG SERING TERJADI
1. Pengadaan pupuk dengan harga di atas pasar
2. Pemalsuan RDKK
3. Penyaluran pupuk subsidi untuk perusahaan atau perkebunan besar
4. Penebusan pupuk subsidi menggunakan KTP palsu
5. Kerja sama antara oknum dinas pertanian dan distributor ilegal
6. Dana pengadaan masuk ke rekening pribadi pejabat
VII. KONSEKUENSI PIDANA
A. Ancaman Pidana (UU Tipikor)
1. Pasal 2 UU Tipikor
• Penjara: 4 – 20 tahun
• Denda: Rp200 juta – Rp1 miliar
2. Pasal 3 UU Tipikor
• Penjara: 1 – 20 tahun
• Denda: Rp50 juta – Rp1 miliar
3. Pasal 12 (suap pengadaan)
• Penjara: 4 – 20 tahun
• Denda: Rp200 juta – Rp1 miliar
B. Pidana Tambahan
• Perampasan aset
• Pembayaran uang pengganti
• Pencabutan hak politik
• Blacklist penyedia barang/jasa
VIII. KESIMPULAN
1. Pengadaan pupuk subsidi merupakan kegiatan pengadaan strategis negara sehingga setiap penyimpangan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
2. Perbuatan seperti mark up, pengadaan fiktif, suap pengadaan, dan penyelewengan distribusi termasuk delik Pasal 2, 3, dan 12 UU Tipikor.
3. Setiap pihak yang terlibat baik pejabat pemerintah, distributor, maupun kelompok tani dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
4. Ancaman pidana sangat berat karena menyangkut stabilitas pangan dan kesejahteraan petani.
5. Penegakan hukum harus fokus pada tracing aliran uang, pemeriksaan dokumen pengadaan, dan audit kerugian negara

